Riset Tentang Pemilu 2014


Sidang Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) untuk tahun 2014. Secara umum, sidang memutuskan hal-hal berikut ini :
1.    Sistem Pemilu             : Proporsional Terbuka (tidak berubah).
2.    Parliamentary Threshold     : 3,5% (berubah dari 2,5%).
3.    Kuota Kursi per Dapil (DPR)    : 3 – 10 kursi (tidak berubah).
4.    Kuota Kursi per Dapil (DPRD)    : 3 – 12 kursi (tidak berubah).
5.    Metode Konversi Suara        : Kuota Hare / Kuota Murni (tidak berubah).

Berdasarkan pengamatan di lapangan (ruang sidang), perdebatan utama dalam sidang terjadi pada 2 poin utama yaitu persoalan ambang batas parpol (Parliamentary Threshold) dan Metode Konversi Suara.
Berikut penulis hadirkan pemetaan suara masing-masing fraksi dalam sidang Paripurna DPR RI kemarin.

*Warna abu-abu: Koalisi. Warna Coklat: Oposisi. Warna Merah Muda: PKS
Parliamentary Threshold
Berdasarkan pemetaan di atas, secara umum perdebatan soal ambang batas parpol (Parliamentary Threshold) terbagi dalam 3 kubu sebagai berikut :
1.    Parliamentary Threshold 4 – 5% didukung oleh PDIP dan Golkar (200 Kursi/196 vote).
2.    Parliamentary Threshold 3,5 – 4% didukung oleh Demokrat, PKS dan PAN (251 Kursi/236 Vote).
3.    Parliamentary Threshold 3% didukung oleh PPP, PKB, Gerindra dan Hanura (109 Kursi/104 Vote).
Dari pengelompokan tersebut, timbul pertanyaan penulis yaitu mengapa Partai Demokrat sebagai partai pemenang memasang posisi tawar yang rendah yaitu di kisaran 3,5 – 4%? Asumsi penulis, bukankah akan lebih menguntungkan jika Partai Demokrat mendukung Parliamentary Threshold 4 – 5% seperti PDIP dan Golkar?
Hasil riset tim Ratu Adil terhadap pemetaan parpol yang lolos dengan menggunakan data suara pemilu tahun 2009 termaktub dalam tabel di bawah ini.

*Warna abu-abu: Koalisi. Warna Coklat: Oposisi. Warna Merah Muda: PKS
Pada tabel di atas terlihat bahwa jika Parliamentary Threshold ditetapkan sebesar 2,5 – 3,5%, maka 9 parpol/fraksi yang lolos di tahun 2009 kemungkinan besar akan kembali masuk parlemen di 2014. Jika ambang batas sebesar 4%, maka Hanura hengkang. Kemudian jika ditetapkan sebesar 4,5%, Gerindra dan Hanura Hengkang. Terakhir, jika ditetapkan batasan 5%, maka PKB, Gerindra dan Hanura terlempar keluar dari parlemen.
Secara pemetaan, sebetulnya penerapan ambang batas 4,5% saja akan sangat menguntungkan Koalisi (warna abu-abu pada tabel), karena kubu Oposisi hanya tersisa PDI-P sendirian, serta PKS yang ‘konon’ sudah dikeluarkan dari Koalisi.
Berangkat dari kesimpulan itu, agak aneh jika Partai Demokrat malah memasang posisi tawar rendah di tengah peluang melemahkan kekuatan Oposisi.
Mari sedikit bersimulasi, pendukung 4 – 5% memiliki 196 vote (kursi yang hadir) dari total 200 kursi. Pendukung 3,5 – 4% sebanyak 98 vote (kursi yang hadir tanpa memperhitungkan Demokrat) dari total 103 kursi (tanpa memperhitungkan Demokrat). Terakhir, pendukung batasan 3% sebanyak 104 vote (kursi yang hadir) dari total 109 kursi.
Demokrat sendirian memiliki 138 vote (kursi yang hadir) dari total 148 kursi. Posisi vital memang ditentukan Demokrat dalam perdebatan kemarin. Alih-alih mendukung ambang batas 4,5% yang akan menguntungkan Koalisi, Demokrat malah mendukung ambang batas 3,5%.
Seorang anggota dewan berbisik, “Demokrat takut menyingkirkan Gerindra dan Hanura, akan membuat massa Gerindra dan Hanura menjadi rebutan PDI-P dan Golkar. Jika ini yang terjadi, posisi atau jumlah kursi Golkar dan PDI-P akan semakin mendekati Demokrat. Wajar jika Demokrat memilih mengamankan posisinya dengan mencegah adanya perpindahan kursi yang berpeluang memperkuat lawan-lawan Demokrat,”
Masuk akal.
“Lagipula, ada transaksi keluarga yang sangat erat kaitannya dengan dukungan Demokrat pada ambang batas 3,5%. Demokrat jelas harus mengamankan PAN. Itu terlihat dari perubahan sikap Demokrat pada perdebatan soal Metode Konversi Suara dalam sidang,” lanjutnya.
Metode Konversi Suara
Selain soal ambang batas (Parliamentary Threshold), perdebatan paling panas terjadi pada poin Metode Konversi Suara. Secara umum perdebatan terjadi pada penggunaan metode Kuota Hare (Kuota Murni) dengan penggunaan metode Divisor Webster.
Perbedaan diantara keduanya secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:
-    Kuota Hare / Kuota Murni adalah sistem penghitungan perolehan kursi dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang disesuaikan dengan jumlah pemilih.
-    Divisor Webster adalah sistem penghitungan perolehan kursi dengan BPP tetap berbilangan ganjil.
Sistem Kuota Hare yang memiliki sistem penghitungan bertahap (Tahap I, Tahap II dan Tahap III) memberikan peluang bagi sisa suara yang tidak memperoleh kursi untuk diperebutkan kembali, sehingga perkiraan hasil akhir perolehan kursi bersifat spekulatif. Parpol-parpol kecil memperoleh keuntungan dari penerapan sistem ini.
Sistem Divisor Webster yang menggunakan BPP tetap berbilangan ganjil tidak memberikan peluang bagi sisa suara untuk memperoleh kursi sehingga hasil akhir perolehan kursi dapat diperkirakan sebelumnya. Sistem ini sangat disukai oleh parpol-parpol besar karena dapat menjamin keamanan perolehan kursi di parlemen.
Berikut pemetaan parpol-parpol dalam dukungannya terhadap metode penggunaan sistem penghitungan suara :
1.    Sistem Kuota Hare didukung oleh Demokrat, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura.
2.    Sistem Divisor Webster didukung oleh Golkar, PDI-P dan PKS.
Pada sidang hari pertama, Demokrat memasang posisi ragu-ragu di antara Divisor Webster dan Kuota Hare dengan indikasi kuat ke arah Divisor Webster. Namun memasuki sidang hari kedua, mendadak Demokrat berbalik arah mendukung sistem Kuota Hare.
Lagi-lagi, Demokrat menurunkan posisi tawarnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah atas dasar apa perubahan itu dilakukan oleh Demokrat. Apa keuntungan yang diperoleh Demokrat dengan mendukung sistem Kuota Hare ketimbang sistem Divisor Webster? Betulkah langkah itu dilakukan setelah mempertimbangkan kerugian yang akan diterima PAN jika sistem Divisor Webster dimenangkan?
Sebelum masuk lebih jauh, berikut hasil riset tim Ratu Adil pada potensi perolehan kursi masing-masing parpol/fraksi dari penerapan masing-masing sistem penghitungan tersebut. Data diolah dari data pemilu 2009.

*Warna Coklat : Simulasi Dampak Penerapan Metode Konversi Suara versus Parliamentary Threshold terhadap perolehan kursi masing-masing fraksi.
Dalam tabel di atas dapat dilihat, Demokrat sebetulnya akan memperoleh keuntungan dari penerapan metode konversi Divisor Webster, yaitu penambahan kursi di DPR RI sebanyak 15 kursi, sedangkan Gerindra yang paling merugi dalam penerapan sistem Divisor Webster, karena dapat menghilangkan perolehan kursi di DPR sebanyak 5 kursi.
Berikut pembagian data tersebut menurut kelompok Koalisi, Oposisi dan PKS (dipisahkan dengan asumsi telah dikeluarkan dari Koalisi).



Jika ditinjau dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa penerapan sistem Divisor Webster sebetulnya akan sangat menguntungkan Koalisi, karena total perolehan kursi di DPR RI akan bertambah 6 kursi. Demokrat sendirian mengalami penambahan 15 kursi, sedangkan PAN berkurang 4 kursi, PPP berkurang 3 kursi serta PKB dan Golkar berkurang masing-masing 1 kursi.
Di sisi lain, kubu Oposisi malah akan merugi 2 kursi melalui penerapan Divisor Webster yang didapat dari penambahan kursi PDI-P sebanyak 4 kursi, pengurangan kursi Gerindra sebanyak 5 kursi dan Hanura berkurang 1 kursi. Terakhir, PKS sendirian berkurang 4 kursi jika diterapkan sistem Divisor Webster.
Penilaian penulis, PDI-P wajar mendukung Divisor Webster karena berpeluang memperoleh penambahan kursi di DPR RI sebanyak 4 kursi. Golkar mungkin tidak masalah dengan pengurangan 1 kursi dengan mendukung sistem Divisor Webster karena mempertimbangkan keamanan posisi dari penerapan sistem tersebut. Dukungan tidak wajar terhadap penerapan sistem Divisor Webster justru pada PKS yang malah berpeluang mengurangi jumlah kursi sebanyak 4 kursi.
Namun langkah yang lebih misterius justru dilakukan oleh Demokrat yang mendukung sistem Kuota Hare. Penerapan sistem Kuota Hare malah menghambat peluang Demokrat menambah 15 kursi di DPR RI. Apalagi, dengan penambahan 15 kursi, sebetulnya Demokrat dapat lebih ‘berkuasa’ dalam Koalisi karena otomatis memiliki hak voting yang lebih besar dalam penentuan arah Koalisi.
Anggota dewan tadi berbisik lagi, “Wajar kalau Demokrat berbalik arah tidak jadi mendukung sistem Divisor Webster, karena jika itu diterapkan, PAN menjadi pihak yang paling merugi dalam Koalisi. PAN bisa kehilangan 4 kursi di DPR. Demokrat tidak khawatir jika PPP dan PKB kehilangan kursi. PPP dan PKB kan pasif dan manut saja terhadap kebijakan mayoritas. Tapi PAN sangat berharga bagi Demokrat. Selain karena adanya hubungan keluarga (besan), posisi PAN sangat penting untuk menjaga kestabilan Koalisi,”
“PAN merupakan satu-satunya harapan Demokrat untuk menjaga kelangsungan Koalisi ketimbang Golkar yang bisa sangat oportunistis berubah haluan seperti PKS. Apalagi PPP dan PKB, mereka mudah saja merapat ke Oposisi jika Koalisi pecah. Apalagi kalau sampai gara-gara ini, terjadi perseteruan keluarga SBY dengan Hatta Rajasa, tentu akan berdampak bagi kestabilan Demokrat dan PAN, kemudian berdampak pada kestabilan Koalisi dan tentunya politik secara umum,” imbuhnya.
Benarkah ada perjanjian antara Demokrat dan PAN di balik dukungan terhadap Parliamentary Threshld 3,5% dan penerapan sistem penghitungan Divisor Webster?
Mari kita tanya pihak yang terkait.

0 comments:

Post a Comment